Waliyah dan Lima Permen
Mencuri bukanlah hal yang baik, namun layaknya kesalahan-keasalahan pada umumnya, mencuripun pastinya bisa dimaafkan ketika memang pantas dimaafkan, mari kita simak mereka yang tak dijawab permintaan maafnya.
Waliyah tidak pernah menyangka akan merasakan dinginnya sel penjara di penghujung usianya yang akan memasuki kepala enam. Dia ditangkap dan diseret ke pengadilan gara-gara mencuri 5 buah permen coklat. Jaksa menuntutnya 6 bulan penjara. Nasib kelam wanita tua yang juga tunawisma itu terungkap dalam persidangan yang digelar Pengadilan Negeri (PN) Pekalongan, Jawa Tengah, Rabu (20/10/2010).
Waliyah (57) duduk memelas di kursi pesakitan sebagai terdakwa kasus pencurian. Waliyah yang mengenakan baju biru dipadu jilbab berwarna oranye, hanya tertunduk saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan dakwaannya.
Namun saat mendengar JPU Eko S mengancam Waliyah dengan hukuman 4 bulan penjara, wanita itu mulai terisak. Jaksa menilai, Waliyah melanggar pasal 362 KUHP tentang tindak pidana
pencurian.
Saat JPU selesai membacakan dakwaannya, tangisan Waliyah makin menjadi. Nenek asal Slawi, Kabupaten Tegal itu memohon majelis hakim mengampuni dirinya. Waliyah mengaku kapok dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
"Saya sudah dipenjara sejak 30 Juli lalu. Saya kapok, saya ingin bebas bu," ujar Waliyah kepada Ketua Majelis Hakim, Wiwin Arodawati.
Waliyah diseret ke meja hijau karena kedapatan mencuri 5 buah permen coklat di sebuah pusat perbelanjaan di Pekalongan. Wanita yang hidup sebatang kara ini mengaku nekat mencuri karena tidak mempunya uang.
"Nggak tahu kenapa, saya ambil saja permen itu. Soalnya saya mau beli tidak punya uang," ungkap Waliyah.
Tiadanya Keadilan Bukan Yang Pertama
Kisah Waliyah ini menambah panjang cerita tentang kaum miskin yang terpaksa berurusan dengan hukum hanya sekadar untuk menyambung hidup. Masih ingat Manisih dan ketiga anaknya? Mereka juga sempat mendekam di tahanan Polres Batang karena dituding mencuri 2 kg buah randu (kapuk) milik PT Segayung.
Keempatnya mendekam di Rutan Rowobelang sebagai tahanan Polres Batang. Namun setelah kasus ini ramai diberitakan media massa, penahanan Manisih sekeluarga ditangguhkan. Dalam persidangan, mereka dijatuhkan hukuman 24 hari potong masa tahanan.
Cerita serupa juga pernah terjadi di Banyumas, Jawa Tengah. Nenek Minah (55) diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan gara-gara memetik 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA).
Ironi hukum di Indonesia ini berawal saat Minah sedang memanen kedelai di lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, pada 2 Agustus 2009 lalu. Lahan garapan Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk menanam kakao.
Ketika sedang asik memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah kakao yang sudah ranum. Dari sekadar memandang, Minah kemudian memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao.
Dan tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh dilakukan karena sama saja mencuri.
Sadar perbuatannya salah, Minah meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. 3 Buah kakao yang dipetiknya pun dia serahkan kepada mandor tersebut. Minah berpikir semua beres dan dia kembali bekerja.
Namun dugaanya meleset. Peristiwa kecil itu ternyata berbuntut panjang. Sebab seminggu kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto.
Nasib yang dialami Nenek Minah ini menarik perhatian banyak orang. Tak terkecuali Mahfud MD. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menilai rasa keadilan masyarakat sedang menghadapi masalah besar. Penegak hukum dinilainya masih terikat oleh pasal-pasal formal dan akibatnya hukum tidak lagi mementingkan substansi yakni hati nurani.
"Penegakan keadilan sekarang sedang menghadapi persoalan besar. Rasa keadilan hampir tidak ada dan tidak lagi bersifat substantif. Hukum tidak lagi berdasarkan pada hati nurani tetapi terikat pada pasal-pasal formal," kata Mahfud.
Sumber : http://voa-islam.net/
Waliyah tidak pernah menyangka akan merasakan dinginnya sel penjara di penghujung usianya yang akan memasuki kepala enam. Dia ditangkap dan diseret ke pengadilan gara-gara mencuri 5 buah permen coklat. Jaksa menuntutnya 6 bulan penjara. Nasib kelam wanita tua yang juga tunawisma itu terungkap dalam persidangan yang digelar Pengadilan Negeri (PN) Pekalongan, Jawa Tengah, Rabu (20/10/2010).
Waliyah (57) duduk memelas di kursi pesakitan sebagai terdakwa kasus pencurian. Waliyah yang mengenakan baju biru dipadu jilbab berwarna oranye, hanya tertunduk saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan dakwaannya.
Namun saat mendengar JPU Eko S mengancam Waliyah dengan hukuman 4 bulan penjara, wanita itu mulai terisak. Jaksa menilai, Waliyah melanggar pasal 362 KUHP tentang tindak pidana
pencurian.
Saat JPU selesai membacakan dakwaannya, tangisan Waliyah makin menjadi. Nenek asal Slawi, Kabupaten Tegal itu memohon majelis hakim mengampuni dirinya. Waliyah mengaku kapok dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
"Saya sudah dipenjara sejak 30 Juli lalu. Saya kapok, saya ingin bebas bu," ujar Waliyah kepada Ketua Majelis Hakim, Wiwin Arodawati.
Waliyah diseret ke meja hijau karena kedapatan mencuri 5 buah permen coklat di sebuah pusat perbelanjaan di Pekalongan. Wanita yang hidup sebatang kara ini mengaku nekat mencuri karena tidak mempunya uang.
"Nggak tahu kenapa, saya ambil saja permen itu. Soalnya saya mau beli tidak punya uang," ungkap Waliyah.
Tiadanya Keadilan Bukan Yang Pertama
Kisah Waliyah ini menambah panjang cerita tentang kaum miskin yang terpaksa berurusan dengan hukum hanya sekadar untuk menyambung hidup. Masih ingat Manisih dan ketiga anaknya? Mereka juga sempat mendekam di tahanan Polres Batang karena dituding mencuri 2 kg buah randu (kapuk) milik PT Segayung.
Keempatnya mendekam di Rutan Rowobelang sebagai tahanan Polres Batang. Namun setelah kasus ini ramai diberitakan media massa, penahanan Manisih sekeluarga ditangguhkan. Dalam persidangan, mereka dijatuhkan hukuman 24 hari potong masa tahanan.
Cerita serupa juga pernah terjadi di Banyumas, Jawa Tengah. Nenek Minah (55) diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan gara-gara memetik 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA).
Ironi hukum di Indonesia ini berawal saat Minah sedang memanen kedelai di lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, pada 2 Agustus 2009 lalu. Lahan garapan Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk menanam kakao.
Ketika sedang asik memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah kakao yang sudah ranum. Dari sekadar memandang, Minah kemudian memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao.
Dan tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh dilakukan karena sama saja mencuri.
Sadar perbuatannya salah, Minah meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. 3 Buah kakao yang dipetiknya pun dia serahkan kepada mandor tersebut. Minah berpikir semua beres dan dia kembali bekerja.
Namun dugaanya meleset. Peristiwa kecil itu ternyata berbuntut panjang. Sebab seminggu kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto.
Nasib yang dialami Nenek Minah ini menarik perhatian banyak orang. Tak terkecuali Mahfud MD. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menilai rasa keadilan masyarakat sedang menghadapi masalah besar. Penegak hukum dinilainya masih terikat oleh pasal-pasal formal dan akibatnya hukum tidak lagi mementingkan substansi yakni hati nurani.
"Penegakan keadilan sekarang sedang menghadapi persoalan besar. Rasa keadilan hampir tidak ada dan tidak lagi bersifat substantif. Hukum tidak lagi berdasarkan pada hati nurani tetapi terikat pada pasal-pasal formal," kata Mahfud.
Sumber : http://voa-islam.net/
2 comments:
wah parah nih, hal2 spele aja smp ke meja hijau, padahal yg korupsi aja hukumannya ga parah2 amat, ini permen 5 smp segitunya :-(
iyah nih, JPU nya juga edan, nggak manusiawi, kok gelem di sewo iku lho.
Post a Comment